Literasi dan Membaca: Apakah Selalu Membosankan?
Tidak bisa dipungkiri lagi kalau membaca dan menulis adalah kemampuan dasar yang penting untuk dipelajari. Namun, membaca dalam artian mampu mengenal kata-kata dalam sebuah tulisan saja tidaklah cukup. Kemampuan untuk memahami, menelusuri, dan mengolah informasi dalam sebuah tulisan, atau lebih tepatnya literasi membaca, sangatlah diperlukan. Tanpa kemampuan literasi membaca yang memadai, kemampuan dalam mempelajari ilmu pengetahuan pun tidak akan baik, sehingga menyebabkan kurangnya kualitas hidup dan tidak tersalurkannya potensi yang dimiliki.
Maka dari itu sangat disayangkan bahwa Indonesia memiliki tingkat kemampuan literasi yang sangat rendah. Berdasarkan Program for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2019, Indonesia menduduki peringkat ke 62 dari 70 negara dalam kemampuan literasi. Hal ini diperburuk dengan minat baca yang rendah. Di kalangan pelajar pun, mata pelajaran yang mengharuskan banyak membaca seperti Bahasa Indonesia seringkali diremehkan dan dianggap membosankan.
Kurangnya minat baca dan literasi disebabkan oleh berbagai macam aspek, seperti tidak dibiasakannya membaca, kurangnya jenis bacaan di lingkungan sekolah, lingkungan yang tidak mendukung untuk membaca, hingga distraksi akibat penggunaan gadget. Untuk penanggulangannya, umumnya yang dihimbau dan diedukasikan ke khalayak umum adalah dengan membiasakan membaca sejak dini. Hanya saja, meskipun hal tersebut dapat diaplikasikan kepada anak-anak, penanggulangan kurangnya minat baca pada remaja masih cenderung jarang diperbincangkan.
Salah satu alasan terbesar kurangnya minat baca pada remaja adalah rasa bosan, dimana topik bacaan bukanlah sesuatu yang dianggap menarik. Karena tidak adanya ketertarikan, membaca terasa seperti sebuah paksaan, sehingga tidak diminati. Hal ini bisa ditanggulangi dengan cara meningkatkan rasa keingintahuan; misalnya dengan memberitahu kenapa topik yang dibahas sebuah bacaan penting untuk diketahui, atau mengaitkannya dengan hobi atau minat lain yang dimiliki oleh remaja tersebut. Sedangkan untuk meningkatkan literasi, penanggulangannya bisa melalui diskusi mengenai apa yang remaja tersebut dapat simpulkan setelah membaca, atau opini apa yang ia miliki mengenai topik yang dibahas dalam bacaan.
Penanggulangan tersebut bukanlah hal yang mudah untuk diterapkan secara instan, terlebih jika terdistraksi dengan gadget dan media sosial. Meski begitu, media sosial pun bisa saja digunakan sebagai media pengembangan literasi dan minat baca. Diskusi melalui podcast, pengekspresian diri melalui blog dan video essay, bahkan kebiasaan membaca pun bisa didorong untuk menjadi sebuah gerakan tren melalui Twitter dan Instagram. Hal-hal tersebut dapat menstimulasi remaja untuk mulai membaca dan berpikir kritis secara lebih interaktif.