Sistem Zonasi: Hapus atau Pertahankan?
Sistem zonasi, yang mulai diterapkan sejak keluarnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 17 Tahun 2017, mengatur penerimaan peserta didik baru (PPDB) di semua jenjang pendidikan dasar hingga menengah. Sistem ini bertujuan untuk memberikan akses yang merata kepada layanan pendidikan, mencegah terjadinya penumpukan siswa di sekolah favorit, dan mengurangi kesenjangan kualitas pendidikan antar wilayah.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Muhadjir Effendy, menekankan bahwa pendidikan publik harus memenuhi tiga kriteria layanan publik: tanpa rivalitas, dapat diakses semua orang, dan tanpa diskriminasi. Zonasi diharapkan memenuhi prinsip ini agar sekolah negeri bisa melayani masyarakat secara adil.
Tujuan dan Tantangan Sistem Zonasi
Terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui sistem zonasi. Pertama, zonasi bertujuan untuk pemerataan kualitas pendidikan di setiap sekolah, sehingga siswa di seluruh daerah memiliki kesempatan yang sama dalam menerima pendidikan berkualitas. Kedua, sistem ini diharapkan dapat mencegah terjadinya penumpukan siswa di sekolah-sekolah favorit, yang biasanya memiliki kualitas pendidikan lebih baik dibandingkan sekolah lain.
Zonasi juga membantu mendekatkan siswa dengan sekolah terdekat di lingkungan mereka, sehingga mempermudah akses dan mengurangi kemacetan lalu lintas. Namun, sistem zonasi tidak berjalan tanpa tantangan. Salah satu masalah yang muncul adalah migrasi domisili, di mana beberapa orang tua mencoba mengubah alamat domisili mereka agar anak mereka bisa diterima di sekolah yang diinginkan.
Selain itu, distribusi sekolah yang tidak merata di beberapa daerah menyebabkan beberapa siswa harus bersekolah di tempat yang jauh dari rumah, khususnya di daerah pedesaan. Adanya praktik pungli juga menjadi perhatian, di mana beberapa pihak memanfaatkan sistem zonasi untuk keuntungan pribadi, seperti dengan cara menerima siswa berdasarkan jalur afirmasi atau prestasi dengan imbalan tertentu.
Dampak dari Sistem Zonasi
Sistem zonasi juga dinilai menimbulkan masalah sosial, di mana siswa dari latar belakang yang berbeda dipaksa untuk bersekolah bersama, sehingga menimbulkan potensi konflik. Selain masalah tersebut, zonasi juga memiliki dampak psikologis bagi siswa dan orang tua.
Banyak siswa yang kehilangan motivasi belajar karena mereka merasa terpaksa bersekolah di sekolah yang kualitasnya di bawah harapan mereka. Bahkan, beberapa siswa dengan prestasi akademik yang baik akhirnya merasa tidak termotivasi karena tidak bisa masuk ke sekolah favorit yang mereka idamkan.
Untuk mengatasi masalah yang muncul akibat sistem zonasi ini, pemerintah telah melakukan beberapa penyesuaian. Salah satunya adalah memperbaiki sistem zonasi dengan mempertimbangkan kebutuhan daerah masing-masing, serta menyediakan jalur lain dalam PPDB, seperti jalur prestasi, afirmasi, dan perpindahan tugas orang tua.
Dengan adanya penyesuaian ini, diharapkan bahwa setiap siswa dapat diterima di sekolah yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan mereka, tanpa harus mengabaikan prinsip pemerataan yang menjadi dasar dari sistem zonasi itu sendiri. Pada akhirnya, pemerintah menyadari bahwa pendidikan yang merata dan berkualitas adalah tujuan utama dari kebijakan zonasi.
Walau begitu sistem ini masih memerlukan perbaikan agar lebih efektif dalam memberikan layanan pendidikan publik. Baik para orang tua maupun siswa, penting untuk fokus pada peningkatan potensi akademik di sekolah mana pun, karena prestasi tidak selalu ditentukan oleh nama besar sekolah, tetapi oleh kerja keras dan semangat belajar. Dengan bergabung ke Bimbel Tridaya, siswa dapat memaksimalkan potensi belajar melalui berbagai program yang ditawarkan sesuai dengan kebutuhannya.